Pangandaran LHI
Terbitnya hak pengelolaan lahan (HPL) di Kabupaten Pangandaran kawasan pesisir pantai atau sempadan pantai dan sempadan sungai yang benar-benar harus diperhitungkan dan diperhatikan secara materil dari dampak lingkungan yang akan terjadi di kemudian hari, dari lahirnya produk kebijakan atas Sartfikt HPL.
Hal itu diisampaikan Yosep Nurhidayat S.H selaku Pengurus harian SPP, apa yg dimaksud hak pengelolaan dari Domainverkalring, seperti jawatan Kereta Api, Mentri kelautan untuk pelabuhan darurat militer dan bukan hak milik hanya hak pengelolaan dan untuk hak publik. Kamis (29/8).
HPL menurut UUPA No 5 tahun 1960 hanya diatur sebagi Hak Pakai jadi pengelolaan itu pada kewenangan pengelolaan jawatan.
Pasal 2 ayat 2 UUPA ayat 4, Hak menguasai dari negara diatas pelaksanannya dapat di kuasakan kepada daerah-daerah Suatantra dan masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan menurut ketentuan peraturan- pemerintah, tambah Yosep.
"Pasal 3 UUPA itu menentukan bahwa : "Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi".
Dijelaskan Yosep, Dalam PP 18 tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah Satuan Rumah dan Pendaftaran Tanah mengatur sebagi Subyek dan obyek dimana ketentuan tersbut harus di lihat dan pertimbangkan secara mendetail dalam objek tanah ada ketentuan dalam pasal 2 ayat 3 huruf b Tanah Reklamasi C Tanah Timbul
"Maka dalam poin tersebut harus memperhitungkan dan secara detail tanah apa yang bisa dikeluarkan HPL Nya sehingga tidak berakibat fatal dan cacat hukum, yang harus dipertimbangkan dalam tanah ketentuan reklamasi atau tanah timbul itu harus terjadi perubahan alam melalui sedimentasi atau penyusutan permukaan air yang menjadi daratan dengan jangka waktu ratusan tahun atau akibat bencana alam seperti di Bojong salawe sehingga menjadi kawasan Tanah timbul atau sedimentasi, seperti yang terjadi di wilayah desa bagolo dan palatar agung di Pamotan terjadi sedimentasi atau yang disebut dengan tanah timbul dan itu diatur oleh undang-undang lingkungan hidup, Serta objek HPL tersebut harus difungsikan secara fungsi sosial secara kemanfaatan dan diatur mengenai batasan-batasan dan fungsi yang dimanfaatkan seperti dibangunnya kawasan pelabuhan dan fasilitas olahraga atau sport track dan hanya digunakan sebagai fasilitas pemerintah dengan memperhatikan fungsi lingkungan dan ekologis ekosistem yang berkaitan dengan pantai, itu pun apabila diperlukan untuk kepentingan darurat seperti pangkalan militer.
Maka HPL ini bagian dari turunan undang-undang cipta kerja sehingga harus berorientasi kepada penunjang pembangunan pemerintah dan fungsi sosial tidak menjadi kawasan privat untuk kawasan bisnis yang tidak memberikan akses kepada seluruh masyarakat sebagai subjek masyarakat sipil.
"Dan subjek yang diatur dalam HPL itu bukan perorangan dan bukan untuk kepentingan perseorangan sehingga ini harus diperhatikan, dalam ketentuan pasal 5 PP 18 tahun 2021 mengatur yang menjadi subjek hukum dalam perolehan HPL itu semuanya unsur pemerintahan dan badan hukum pemerintahan tetapi kepentingan ini harus diorientasikan sebesar-besarnya kepentingan rakyat berdasarkan pasal 33 ayat 3 undang-undang dasar 45, kepentingan rakyat di sini bukan secara individu tetapi seluruh Rakyat Kabupaten Pangandaran khususnya dan umumnya seluruh Indonesia.
Walaupun ada yang mengatur subjek mengenai pelepasan kawasan hutan itu harus diperoleh dari proses upaya permohonan masyarakat dan masyarakat hukum adat, sehingga mengutip perkataan bapak Budi widarjarjo pakar LPA (konsorsium pembaruan Agraria) Pandangan Konstitusionallizem Dan politik legal konstitusional teori hukum membatasi kewenangan negara
HPL tidak diatur dalam UUD 45 pasal 33.
"Harusnya mengutamakan sebesar-besarnya kepentingan rakyat bukan sebesar-besarnya untuk kepentingan negara kepada pihak ke tiga.
Saya tidak pernah mendengar HPL itu diatur dalam UUPA. sehingga Negara punya kewajiban telah menjalankan kepentingan umum bukan perihal ke 3, dan HPL ini sebagai terobosan hukum yang harusnya diimplementasikan untuk kepentingan rakyat bukan memprioritaskan sebagai kepentingan pemilik modal sehingga ini bertentangan dengan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Maka apabila HPL nya dikeluarkan dengan tergesa-gesa ada beberapa indikasi yang secara hukum formil ataupun secara materiil tidak terlengkapinya syarat-syarat tersebut untuk menunjang upaya produk hukum seperti syarat dilibatkannya masyarakat setempat apakah tanah tersebut tidak tumpang tindih atau tidak disengketakan sehingga dalam hal ini BPN Kabupaten Pangandaran harus benar-benar jeli supaya tidak berakibat perbuatan melawan hukum dan apabila terjadi dampak bencana alam maka siapa yang harus bertanggung jawab kerugian secara material siapa yang harus di pertanggungjawabkan atas perbuatan produk HPL yang sudah keluar sehingga ini bermuara di eksekutif dan perizinan sebagai mandat lembaga kepentingan daerah.
"Dan apabila dikeluarkan ada kepentingan yang mendesak dicurigai terindikasi korupsi dari pihak-pihak ketiga untuk keluarnya HPL tersebut, pungkasnya. (AS)**
Ditulis oleh: Yosep Nurhidayat S.H., selaku Pengurus Harian SPP
0 Comments