DPRD OKU Selatan

DPRD OKU Selatan
Marhaban Yaa Ramadhan

DELEGITIMASI SURAT WASIAT ANAK ANGKAT (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI. No.311 K/PDT/1996)


 

Dian Rahmat Nugraha

(UIN Sunan Gunung Djati Bandung E-mail: Nugraha.Dian22@yahoo.com)

 

Abstract. This research is about the practice of adoption of children among Indonesian society which is carried out by couples who are married but do not have children. This study aims to determine the legal status of adopted children, in consideration of judges, review of Islamic and customary law on these decisions. This research framework is based on the concepts and theories of Islamic law. As a big theory for the concept of justice, at the next level the theory of maqashid al-sharia and the operational level uses the istinbath al-ahkam (aplicative) theory. This research method uses normative juridical methods. Collecting data through library research and field research. The research concludes that the principle of adoption according to Islamic law is childcare with the intention that a child does not become neglected and grows and develops both physically and mentally. Regarding this, Islam does not prohibit the provision of various forms of livelihood assistance to adopted children; Judges 'considerations are based on juridical, sociological and philosophical grounds and judges' legal considerations at the Supreme Court are based solely on juridical basis. Islam views that the decision of the Supreme Court is inconsistent because it does not adhere to elements of justice and legal certainty.

Keywords: wasiat wajibah, adopted child, inheritance

Abstrak. Penelitian ini tentang praktek adopsi anak wasiat terhadapnya di kalangan masyarkat Indonesia yang dilakukan oleh pasangan yang sudah berkeluarga namun tidak memperoleh keturunan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status hukum anak angkat, dalam pertimbangan hakim, tinjauan hukum Islam dan adat terhadap keputusan tersebut. Kerangka penelitian ini berdasarkan konsep dan teori hukum Islam. Sebagai teori besarnya kepada konsep keadilan, pada level selanjutnya teori maqashid al-syariah dan tingkat operasional menggunakan teori istinbath al-ahkam. Metode penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif. Pengumpulan data melalui studi kepustakaan dan field research. Penelitian menyimpulkan bahwa prinsip pengangkatan anak menurut syariat Islam adalah bersifat pengasuhan anak dengan maksud agar seorang anak tidak sampai terlantar dan tumbuh kembang baik fisik dan jiwanya. Atas hal ini, Islam tidak melarang memberikan berbagai bentuk bantuan penghidupan terhadap anak angkatnya; pertimbangan hakim tertumpu kepada landasan yuridis, sosiologis dan filosofis dan pertimbangan hukum hakim pada Mahkamah Agung berdasarkan kepada yuridis semata. Islam memandang bahwa keputusan Mahkamah Agung tidak konsisten karena tidak menganut unsur keadilan dan kepastian hukum.

Kata Kunci : wasiat wajibah, Anak angkat, warisan

PENDAHULUAN

Menurut Undang-Undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 yang mana menjelaskan bahwa: "Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumahtangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".[1] Berdasarkan hal  tersebut, dapat diketahui bahwa dari perkawinan diharapkan akan lahir keturunan (anak) sebagai penerus dalam keluarganya, sehingga selaku ayah dan ibunya berkewajiban memelihara serta mendidiknya untuk tumbuh dan berkembang sesuai ketentuan dalam lingkungan keluarga maupun adat istiadat.

Hadirnya seorang keturunan adalah suatu hal yang sangat diidam-idamkan. Kebahagiaan dan keharmonisan suatu rumah tangga ditandai dengan lahirnya anak, karena salah satu tujuan perkawinan adalah untuk mendapatkan keturunan. Sebagaimana firman Allah SWT:

 وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَةِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ (٧٢)

Artinya: "Dan Allah menjadikan bagimu jodoh ( istri ) dari dirimu ( bangsamu ) dan menjadikan anak-anak dan cucu-cucu dari istrimu itu, serta memberi rizki yang baik, apakah mereka percaya yang batil (tidak benar ) dan ingkar akan nikmat Allah.”[2]

Suatu keinginan  untuk mempunyai keturunan  adalah naluri manusiawi dan fitrah . Akan tetapi kadang-kadang naluri ini kembali  pada takdir Allah SWT, dimana keinginan untuk mempunyai Keturunan  tidak terwujud. Pada umumnya manusia tidak akan puas dengan apa yang dialaminya, sehingga berbagai upaya dilakukan untuk memenuhi keinginan tersebut. Dalam hal ini keinginan untuk memperoleh anak dapat diusahakan melalui cara mengangkat anak (adopsi).

Pengangkatan anak di sini merupakan jalan keluar untuk menyelamatkan perkawinan atau untuk mencapai kebahagiaan rumah tangga, karena antara tujuan penting perkawinan adalah untuk memperoleh buah hati, yaitu anak. Begitu berartinya hal keturunan (anak) ini, sehingga menimbulkan berbagai konsekuaensi  hukum, karena, misalnya, ketiadaan keturunan (anak). Perceraian, poligami dan pengangkatan anak merupakan beberapa peristiwa hukum yang terjadi karena alasan di dalam perkawinan itu tidak mendapatkan  keturunan (walaupun bukan satu-satunya alasan). Bertambahnya  frekuensi perceraian, poligami dan adopsi  anak yang dilakukan dalam masyarakat mungkin merupakan akibat dari perkawinan yang tidak menghasilkan pelanjut keluarga. Dengan demikian tujuan perkawinan itu tidak tercapai."[3]

Keluarga mempunyai peranan yang sangat vital dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat terkecil di dalam masyarakat luas, yang terdiri dari seorang ayah, ibu dan anak. Namun tidak selalu ketiga unsur itu terpenuhi, sehingga kadang-kadang terdapat sebuah rumah tangga  yang tidak mempunyai anak atau keturunan. Keturunan dalam suatu perkawinan dapat berasal dari darah dagingnya sendiri, yang didalam UU No 1 Tahun 1974 disebut sebagai anak yang sah.

Definisi anak sah menurut Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan (UU No.l Tahun 1974) adalah anak yang didapatkan dalam atau sebagai akibat pernikahan yang  syah. Apabila pasangan suami istri tersebut dalam perkawinannya tidak bisa mempunyai keturunan, maka mereka juga dapat meneruskan keturunan agar suku tidak punah dengan jalan mengangkat anak atau sering juga disebut adopsi.[4]

Adapun permasalahan penelitian ini adalah tentang tinjauan hukum Islam dan adat terhadap anak adopsi yang tidak mendapat warisan dan dihubungkan dengan Keputusan Mahkamah Agung RI No.311 K/Pdt/1996 perihal Pembatalan Surat Wasiat dalam Sengketa Harta Warisan. Misalnya, bagaimana status hukum anak adopsi dalam kewarisan islam? Bagaimana pertimbangan Hakim dalam memutus perkara ini mulai dari Pengadilan hingga Mahkamah Agung? Bagaimana tinjauan hukum Islam dan Adat terhadap Keputusan Mahkamah Agung RI No.311 K/Pdt/1996.

METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengertian Adopsi dalam Adat dan Hukum Indonesia

Ketika kita membaca Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak menerangkan  tentang masalah adopsi atau lembaga pengangkatan anak. Tetapi dalam hukum adat lembaga pengangkatan anak sudah dikenal sejak lama. Mengenai pengangkatan anak menurut hukum adat negeri kita, lebih banyak didasarkan pada pertalian darah dan tata cara menurut hukum adat dan kebiasaan masyarakat setempat.

Misalnya di pulau Jawa, orang lebih senang adopsi anak dari kalangan keluarga sendiri. Pengangkatan anak menurut hukum adat supaya dianggap sah harus dilaksanakan dengan upacara-upacara tertentu dan dengan dihadiri kepala desa setempat serta disaksikan khalayak ramai, agar menjadi jelas dan statusnya menjadi terang bagi anggota keluarga. Hal  ini  sebagaimana disebut dalam Yurisjprudensi Mahkamah Agung Tanggal 19 November 1975 No.696/K/SIUP/1975 yang menetapkan: "Bila belum diperas dan disiar, belum memenuhi syarat sebagai anak angkat yang sah."

Dalam perkembangannya, orang tidak membatasi dari anak kalangan keluarga sendiri saja, tetapi juga pada anak-anak yang lain yang terdapat pada panti-panti pemeliharaan anak, penampungan bayi dan tempat lainya. Meskipun adopsi belum diatur secara tegas dalam perundang-undangan yang bersifat nasional, dalam prakteknya adopsi itu sering terjadi di masyarakat. Oleh sebab itu, harus diusahakan adanya suatu peraturan yang mengatur dan menjamin pelaksanaan adopsi. Walaupun pada dasarnya pengangkatan anak merupakan masalah keluarga, namun akhirnya menjelma menjadi masalah masyarakat dan bangsa, sehingga menimbulkan permasalahan-permasalahan tertentu. Misalnya kasus penculikan anak dan penjualan anak, seperti diatur dalam KUHP dalam psl  328 yang mengatur masalah penculikan dan diancam dengan pidana tahanan paling lama dua belas tahun dan berbagai persoalan lainnya tentang anak.

Pendapat  Imam Sudiat pengangkatan anak menurut hukum adat adalah suatu kegiatan  memungut anak dari luar ke dalam kerabat, sehingga terjadi suatu ikatan sosial yang sama dengan ikatan kewenangan biologis. Anak itu dilepaskan dari keluarganya pada mulanya dan dipungut masuk ke dalam kerabat yang mengangkatnya, dengan suatu pembayaran berupa benda-benda magis. Jadi adopsi itu merupakan perbuatan kontan.[5]

Dalam pengertian  umum pengangkatan anak menurut hukum adalah pengalihan anak terhadap orang tua angkat dari orang tua asli secara keseluruhan dan dileaksanakan  menurut adat setempat agar sah. Jadi orang tua kandung sudah lepas tangan terhadap anak tersebut, dan tanggung jawab beralih kepada orang yang mengadopsinya.

Sementara dalam hukum agama Islam pada prinsipnya mengakui dan membetulkan  pengangkatan anak dengan ketentuan tidak boleh membawa perubahan hukum di bidang nasab, wali mawali dan hal waris. Dasar hukumnya adalah Al Qur'an sebagaimana tertera dalam Surat Al Ahzab dalam ayat ke 4 dan 5:

مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ وَمَا جَعَلَ أَزْوَاجَكُمُ اللائِي تُظَاهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَاتِكُمْ وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ (٤)ادْعُوهُمْ لآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (٥)

Artiny : Allah tidak menjadikan bagi seorang dua buah hati dalam rongganya: Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu dzihar sebagai ibumu. dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu adalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang (benar). Pangillah mereka anak-anak angkatmu itu) dengan (mernakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pad sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maulamu. Dan tidak ada atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetap (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu dan adalah Allah maha pengampun lagi maha penyayang.[6]

 

Tujuan Adopsi Anak

Maka dengan hal itu, tujuan adopsi anak antara lain untuk meneruskan keturunan, bagi suatu perkawinan atau pasangan yang tidak dikaruniai anak. Hal ini merupakan salah satu jalan alternatif yang baik serta dipandang manusiawi terhadap kehadiran seorang anak dalam sebuah rumah tangga. Akan tetapi perkembangan masyarakat sekarang menunjukkan bahwa tujuan pengangkatan anak tidak hanya  atas motivasi untuk meneruskan keturunan saja, tetapi juga karena faktor poleksosdud  dan lain sebagainya.[7]

 

Keterangan dan Persoalan Kasus Adopsi Anak

Masalahnya berawal dari putusan Mahkamah Agung No.311 K/PDT/1996 mengenai pembatalan surat wasiat dalam sengketa harta warisan dengan kasus posisi sebagai berikut: Bermula dari penggugat yang bernama Wakini, yang mana sejak lahir tidak dibesarkan oleh orang tua aslinya. Tetapi ia dibesarkan layaknya anak kandung sendiri  hingga Wakini menikah oleh pasangan Wagimin alias haji Mustopa dan Misan Alias Hj Fatimah yang merupakan orang tua adopsinya.

Wakini tinggal bersama keluarga H.Mustofa dan Hj.Fatimah di Dukuh Bodosari Desa Tunjungtirto Kecamatan Singosari Kabupaten Malang Jawa Timur hingga ia dinikahkan. Setelah berkeluarga, Wakini tinggal di Kecamatan lain terpisah dari orang tua angkatnya. Ketika H.Mustofa meninggal pada tahun 1983, Hj Fatimah harus mengurus harta seorang diri , yang berupa tanah sawah seluas 0,037 hektar, tanah beran seluas dua petak, pekarangan yang luasnya 326 M2  dan rumah yang mereka tinggali seluas 250 M2.[8]

Pada saat Hj Fatimah sakit keras dan kritis, salah satu tetangganya, Nur Yasin, yang selanjutnya menjadi tergugat, membawa Hj Fatimah untuk tinggal di kediamannya, yang tidak jauh dari rumah Hj Fatimah. Menurut Yasin, tindakan itu semata-mata untuk kemanusiaan dan untuk memudahkan menolong Hj Fatimah yang sedang sakit kritis. Yasin merasa berkewajiban untuk bantu Hj. Fatimah, bagaimanapun dianggapnya untuk membalas budi baik H.Mustofa yang penah membiayai sekolahnya dahulu. Tindakan Yasin ini, membuat Wakini tersinggung karena ia tidak merasa diberitahu soal kepindahan ibu angkatnya ke rumah Yasin. Bahkan ketika Hj Fatimah sakit keras,Yasin membuat ‘surat pernyataan penyerahan hak milik dengan sepenuhnya tertanda cap jempol Hj Fatimah. Surat ini berkonten pernyataan Hj Fatimah pada Yasin untuk mewakafkan/menginfakkan harta yang ditinggalkannya  kepada Lembaga Agama Islam di Singosari Malang untuk menegakkan dan memakmurkan Islam.[9]

Namun, sejak Hj. Fatimah meninggal pada tahun 1986, harta milik almarhum dikuasai oleh Yasin dan disewakannya. Wakini selaku anak adopsinya sudah berupaya untuk meraih haknya, tetapi upaya-upaya Wakini selalu gagal, dengan dalih Hj. Fatimah telah mewakafkan peninggalannya itu dan alasannya Wakini bukan anak kandung bawaan dari perkawinan sebelumnya bernama Ahmad. Harta peninggalan Hj Fatimah dan H Mustofa baru diserahkan Yasin kepada Majelis Nahdatul Ulama Cabang Singosari, Malang, pada tanggal 16 Februari 1993.[10]

Berdasarkan masalah di atas, terlihat jelas terjadi tarik menarik antara status hukum anak adopsi yang tidak mendapat wasiat dari keluarga yang membesarkannya serta ketentuan perundang-undangan yang memberikan ketentuan warisan kepada anak adopsi . Disamping itu, Keputusan Mahkamah Agung yang membatalkan surat wasiat wajibah menjadi fokus lain dari penelitian ini.

 

Realitas Adopsi Anak

Realitas lain membuktikan bahwa telah terjadi suatu kasus ketidakadilan dimana anak adopsi yang sudah hidup lama dengan sebuah keluarga angkatnya dan mereka tidak memiliki anak kandung. Sampai akhirnya harta warisan keluarga tersebut tidak diberikan kepada anak adopsinya tersebut. Hal itu terjadi pada sebuah keluarga dimana keputusan hukumnya ditetapkan oleh Pengadilan Agama sampai Mahkamah Agung.[11] Adalah benar bahwa anak angkat tersebut tidak mendapat wasiat wajibah dari keluarga yang membesarkannya, tetapi secara hukum adat, ia berhak atas harta tersebut begitu pula pandangan Islam bahwa anak angkat mendapat 1/3 bagian dari harta yang ditinggalkan.[12]

Inti persoalan dari kasus ini adalah bahwa anak angkat tidak memiliki dan tidak mendapat wasiat wajibah secara tertulis dari keluarga yang membesarkannya sampai akhirnya harta tersebut diwakafkan ke sebuah lembaga keagamaan dan mendapat keputusan hukum dari Mahkamah Agung. Sementara anak angkat tersebut, dalam perjalanannya, menggugat keputusan Mahkamah Agung tersebut.

Kedudukan Anak Adopsi dalam Hukum Islam dan Hukum Indonesia

Menilik surat Al-Ahzab ayat 4-5 di atas dapat diketahui garis hukum anak adopsi, yakni :

1.     Allah tidak menjadikan dua buah hati dalam dada manusia. Dan Tuhan tidak akan menjadikan anak adopsimu sebagai anak kandungmu sendiri.

2.     Anak adopsimu bukanlah anak kandungmu.

3.     Panggillah anak angkatmu menurut nama ayahnya yang asli.

4.     Bekas istri anak adopsi boleh menikah dengan ayah angkat

Namun pada kenyataannya sejak zaman Jahilliah orang Arab mengenal dan telah melakukan adopsi anak. Nabi Muhammad SAW pada waktu itu pernah mengangkat seorang anak laki-laki bernama Zaid bin Haritsah. Dalam Al Ahzab Ayat (4 dan 5), sesungguhnya diturunkan untuk memberikan aturan kepada umat Islam dalam mengangkat anak dengan disesuaikan dengan adat dan kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan bangsa Arab pada waktu itu.

Menurut Soimin S. penamaan anak angkat tidak menjadikan seorang mendapatkan hubungan yang terdapat dalam darah. Penamaan dan penyebutan anak angkat tidak diakui dalam Syariat dan qonun Islam untuk dijadikan dasar dan sebab mewarisi, karena prinsip dasar waris mewarisi dan prinsip pokok dalam kewarisan adalah hubungan darah atau arhaam. Hubungan anak angkat dengan orang yang mengangkatnya bukanlah hubungan anak sulbi. Anak sulbi asalnya anak sulbu, artinya anak kandung yang berasal dari sumsum tulang sulbi atau tulang punggung.[13]

Dalam perkembangganya, hukum Islam memperbolehkan pengangkatan anak asal tidak memutuskan hubungan darah dengan orang tua kandungnya, sehingga prinsip pengangkatan anak dalam hukum Islam hanya bersifat pengasuhan, pemberian kasih sayang dan pemberian pendidikan. M. Budiarto menerangkan  menurut hukum Islam pengangkatan anak hanya dapat dibenarkan apabila memenuhi faktor faktor  sebagai berikut: [14]

1.  Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya dan keluarganya.

2.  Anak adopsi tidak berkedudukan sebagai pewaris dari orang tua angkatnya, melainkan tetap sebagai pewaris dari orang tua kandungnya. Demikian juga orang tua angkatnya tidak berkedudukan sebagai pewaris dari anak angkatnya.

3.  Anak angkat dilarang menggunakan nama orang tua angkatnya secara langsung, kecuali sekedar sebagai alamat atau tanda pengenal di atas,

4.  Orang tua angkatnya tidak bisa bertindak sebagai wali nikah dalam perkawinan anakadopsinya.

Wasiat Wajibah dan Hak Waris Anak Adopsi

Al Qur'an tidak memberi hak bagi anak adopsi untuk menerima warisan dari orang tua angkatnya, namun dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merupakan produk ulama dari berbagai madzhab dan dijadikan salah satu sumber rujukan hukum di negara Indonesia memberikan ketentuan bahwa anak angkat berhak menerima bagian warisan sebagaimana diatur dalam Pasal 209 Ayat (1) dan Ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI), sebagai berikut:[15]

(1)   Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193. Sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah, sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) dari harta warisan anak angkatnya.

(2)   Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat, diberi wasiat wajibah maksimal 1/3 (sepertiga) dari harta warisan orangtua angkatnya.

Melihat isi bunyi Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam ( KHI) ayat (1) dan (2) di atas dapat dipahami bahwa wasiat wajibah yang dimaksud oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah wasiat yang diwajibkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang diperuntukkan bagi anak angkat atau sebaliknya orang tua adopsinya  yang tidak diberi wasiat sebelumnya oleh orang tua angkat atau anak angkatnya, dengan jumlah maksimal 1/3 (sepertiga) dari harta peninggalan.[16]

Secara faktual diakui bahwa pengangkatan anak telah menjadi bagian dari adat istiadat masyarakat orang Islam di Indonesia dan telah merambah dalam praktik ke lembaga Peradilan Agama. Di beberapa tempat atau provinsi seperti di Kabupaten Bantul Jawa Tengah, Sulawesi, Yogyakarta, Semarang, Ungaran, dan juga daerah Jateng di daerah Kendal telah banyak dilakukan, dan Pengadilan Agama telah memberikan penetapan yang sekaligus dipandang sebagai yurisprudensi tetap tentang adopsi  anak di kalangan hakim Peradilan Agama.

Ketentuan Adopsi Anak dan Wasiatnya dalam Hukum Indonesia

a.     Pembuatan Surat Wasiat

Kecakapan orang membuat testament ada ketentuan sebagai berikut:[17]

Pasal 859:  “Untuk dapat atau menarik kembali suatu wasiat, orang harus mempunyai kemampuan berlatar “ yaitu pembuat testament harus mempunyai budi akalnya, artinya tidak boleh membuat tesment ialah orang sakit ingatan dan orang yang sakit begitu berat, sehingga ia tidak dapat berfikir secara teratur”.

 

Pasal 897:  Anak-anak di bawah umur yang belum mencapai umur delapan belas tahun penuh, tidak diperkenankan membuat surat wasiat.”

Sama halnya seperti yang tercantum dalam pasal 194 dalam KHI, Buku II Bab Y yaitu: [18]

(1)   Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahum, berakal sehat dan tanpa ada paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga;

(2)   Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari wasiat;

(3)   Pemilikan terhadap harta seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.

Mengenai sahnya ketentuan dalam tasment ada peraturan sebagai berikut:

Pasal 888:  Dalam semuat surat wasiat, persyaratan yang tidak dapat dimengeri atau tidak mungkin dijalankan, atau bertentangan dengan Undang-Undang dan kesusilaan, dianggap tidak tertulis.

Maksudnya, yaitu jika testament memuat syarat-syarat yang tidak dapat dimengerti atau tidak mungkin dapat dilaksanakan atau bertentangan dengan Undang-Undang dan kesusilaan, maka hal yang demikian itu harus dianggap tidak tertulis.

Pasal 890: Penyebutan suatu alasan yang palsu harus dianggap tidak tertulis, kecuali bila dari wasiat itu ternyata bahwa pewaris itu tidak akan membuat wasiat itu. “

Maksudnya, yaitu jika di dalam testament disebut sebab yang palsu, dan isi dari testament itu menunjukkan bahwa pewaris tidak akan membuat itu jika ia tahu akan kepalsuannya maka testament tidak sah.

Pasal 893: “surat-surat wasiat yang dibuat akibat paksaan, penipuan atau akal licik adalah batal.”

Dalam kompilasi Hukum Islam Buku II Bab V Pasal 197 mengenai batalnya surat wasiat yaitu:[19]

(1)   Wasiat akan menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan hakim telah mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena:

a.      Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewasiat.

b.     Dipersalahkan secara memfitnah telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

c.      Dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut atau merubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat.

d.     Dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat dari pewasiat.

(2)   Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu:

a.      Tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal dunia sebelum meninggalnya wasiat.

b.     Mengetahui adanya wasiat tersebut, tapi ia menolak untuk menerimanya.

c.      Mengetahui adanya wasiat itu, tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak sampai ia meninggal sebelum meninggalnya pewasiat.

(3)   Wasiat akan menjadi batal apabila barang yang diwasiatkan musnah.

b.     Tata Cara Pembuatan Surat Wasiat menurut Hukum yang Berlaku di Indonesia

Proses waris, istilah proses pewarisan mempunyai dua pengertian, yaitu:

a.    Berarti penerusan atau penunjukkan para waris ketika pewaris masih hidup; dan

b.   Berarti pembagian harta warisan setelah pewaris meninggal.

Berkaitan dengan beberapa istilah tersebut di atas, Hilman Hardika Kusumah dalam bukunya mengemukakan bahwa” warisan menunjukkan harta kekayaan dari orang yang telah meninggal, yang kemudian disebut pewaris, baik harta itu telah dibagi-bagi ataupun masih dalam keadaan tidak terbagi-bagi.”[20]

Hukum waris dalam BW mengenai peraturan hibah wasiat ini dengan nama Testament yang diatur dalam buku kedua bab ketiga belas. Dalam pasal 875 BW secara tegas disebutkan pengertian tentang surat wasiat, yaitu: “Surat wasiat atau testament ialah suatu akta yang memuat pernytaan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia dan dapat dicabut kembali”

Ketentuan lain dalam pembuatan surat wasiat harus menyatakan kehendaknya yang berupa amanat terakhir ini secara lisan di hadapan notaris dan saksi-saksi. Salah satu ciri dan sifat yang terpenting dan khas dalam setiap surat wasiat, yaitu surat wasiat selalu dapat ditarik kembali oleh si pembuatnya. Hal ini disebabkan tindakan membuat surat wasiat adalah merupakan perbuatan hukum yang sifatnya sangat pribadi.

Tata cara pembuatan surat wasiat yang dikenal di Indonesia yaitu dapat berbentuk lisan maupun tertulis. Tentu saja apabila wasiat dibuat dengan lisan melalui ucapan-ucpan terakhir pewaris, maka untuk sahnya wasiat semacam itu hendaknya dihadiri oleh para saksi. Sedangkan apabila wasiat dibuat secara tertulis, hal ini bisa dilakukan di depan notaris atau tidak di depan notaris, menurut BW.[21]

Seperti halnya yang tertera dalam Komplilasi Hukum Islam dalam Pasal 195 dan pada pasal 196 yaitu:[22]

Pasal 194 :

(1)  Wasiat dilakukan secara lisan di hadapan dua orang  saksi, atau di hadapan notaris;

(2) Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui;

(3) Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris;

(4) Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi atau di hadapan notaris.

Pasal 196: “ Dalam wasiat baik secara tertulis maupun secara lisan harus disebutkan dengan tegas dan jelas siapa atau siap-siapa lembaga apa yang ditunjuk akan menerima harta benda yang diwasiatkan.

BW mengenai tiga macam bentuk surat wasiat, yaitu:[23]

a.     Wasiat Olografis

Yakni  surat wasiat yang seluruhnya ditulis dengan tangan dan ditanda tangani pewaris sendiri. Kemudian surat wasiat tersebut harus diserahkan untuk disimpan pada seorang notaris dan penyerahan kepada notaris ini ada dua cara, yaitu bisa diserahkan dalam keadaan terbuka bisa juga dalam keadaan tertutup. Kedua cara penyerahan dan penyimpanan pada notaris itu mempunyai akibat hukum yang satu sama lain berbeda-beda, yaitu:[24]

1.     Apabila surat wasiat diserahkan dalam keadaan terbuka, maka dibuatlah Akta notaris tentang penyerahan itu yang ditandatangai oleh pewaris, saksi-saksi, dan juga notaris. Akta penyimpanan tersebut ditulis di kaki surat wasiat tersebut, jika tidak ada tempat kosong pada kaki surat wasiat tersebut, maka amanat ditulis lagi pada sehelai kertas yang lain.

2.     Apabila surat wasiat diserhkan kepada notaris dalam keadaan tertutup, maka pewris harus menulis kembali pada sampul dokumen itu bahwa surat tersebut berisikan wasiat dan harus menandatangani keterangan itu di hadapan notaris dan saksi-saksi. Setelah itu pewaris harus membuat akta penyimpanan surat wasiat pada kertas yang berbeda.

Surat wasiat yang disimpan pada seorang notaris kekuatannya sama dengan surat wasiat yang dibuat dengan akta umumnya. Jika pewaris meninggal dunia dan wasiat diserahkan kepada notaris dalam keadaan terbuka, maka segera penetapan dalam surat wasiat dapat dilaksanakan sebab Notaris yang  mengetahui isi surat wasiat tersebut.

Sedangkan sebaiknya, jika surat wasiat diserahkan dalam keadaan tertutup, maka pada saat pewaris meninggal dunia surat wasiat tidak dapat segera dilaksanakan, sebab isi surat wasiat itu tidak dapat diketahui oleh notaris. Sedangkan notaris dilarang membuka sendiri surat wasiat tersebut, maka untuk kepentingan itu surat wasiat harus diserahkan terlebih dahulu kepada Balai Harta Peninggalan untuk membukanya.

b.     Wasiat Umum

Yaitu surat wasiat yang dibuat oleh seorang notaris, dengan cara orang yang akan meninggalkan warisan itu menghadap notaris serta menyatakan kehendaknya dan memohon kepada notaris agar dibuatkan akta notaris dengan dihadiri oleh dua orang saksi. Pembuat surat wasiat harus menyampaikan sendiri kehendaknya itu dihadapan saksi-saksi. Hal itu tidak dapat dilakukan dengan perantaraan orang lain, baik anggota keluarganya maupun notaris yang bersangkutan. Surat wasiat harus dibuat dalam bahasa yang dipergunakan oleh pewaris ketika menyampaikan kehendaknya, dengan syarat bahwa notaris dan saksi-saksi juga mengerti bahasa tersebut. Hal ini mengingat kesalahan dalam surat wasiat, biasanya biasanya tidak dapat mengingat kesalahan dalam surat, biasanya tidak dapat diperbaiki lagi sebab hal itu baru diketahui setelah pewaris meninggal dunia.

Jadi sedapat mungkin kesalahan formalitas itu harus diperkecil. Syarat untuk saksi-saksi dalam surat wasiat umum antara lain harus sudah berumur 21 tahun atau sudah menikah. Mereka harus warga negara Indonesia dan juga mengerti bahasa yang dipakai dalam surat wasiat tersebut.

 Terdapat beberapa orang yang tidak boleh menjadi saksi dalam pembuatan surat wasiat umum ini, yaitu:[25]

1.     Para ahli waris atau orang yang menerima hibah wasiat atau sanak keluarga mereka sampai derajat keempat

2.     Anak-anak cucu, dan anak-anak menantu, dan  anak atau cucu-cucu notaris

3.     Pelayan-pelayan notaris yang bersangkutan.

c.      Wasiat Rahasia

Yaitu surat wasiat yang ditulis sendiri atau ditulis orang lain yang disuruhnya untuk menulis kehendak terakhirnya. Kemudian ia harus menandatangani surat tersebut. Surat wasiat macam ini harus disampul dan disegel, kemudian diserahkan kepada notaris dengan dihadiri oleh empat orang saksi. Penutupan dan penyegelan dapat juga dilakukan di hadapan notaris dan empat orang saksi.

Lalu  pembuat wasiat harus membuat keterangan di hadapan notaris dan para  bahwa yang termuat dalam sampul itu adalah surat wasiat yang ia tulis sendiri atau ditulis orang lain dan ia menandatangani. Kemudian notaris membuat surat keterangan yang isinya membenarkan keterangan tersebut.

Setelah semua formalitas dipenuhi, surat wasiat itu selanjutnya disimpan pada notaris dan selanjutnya merupakan kewajiban notaris untuk memberitahukan adanya surat wasiat tersebut kepada orang-orang yang berkepentingan, apabila pembuat surat/peninggal warisan meninggal dunia.

Pembagian Harta Warisan, Hak dan Kedudukan Anak Menurut Hukum Adat.

Menurut hukum adat, sistem bagi harta peninggalan adalah merupakan suatu perbuatan daripada para ahli waris bersama-sama. Serta pembagian itu diselenggarakan dengan permufakatan atau atas kehendak dari para ahli waris. Pembagian harta warisan yang dijalankan atas dasar kerukunan, biasanya terjadi dengan penuh pengetahuan, bahwa semua anak, baik laki-laki maupun perempuan, pada dasarnya mempunyai hak yang sama atas harta peninggalan orang tuanya.[26]

Apabila ternyata dalam pembagian harta warisan tidak terdapat pemufakatan dalam penyelenggaraan pembagian harta warisan, maka hakim (hakim adat/hakim perdamaian desa atau hakim Pengadilan Negeri) berwenang, atas  permohonan para ahli waris, untuk menetapkan cara pembagiannnya serta memimpin sendiri pelaksanaan pembagiannya.

Realisasi pembagian warisan tergantung pada hubungn dan sikap para ahli waris. Selain anak kandung, anak adopsi juga dipandang sebagai ahli waris, dengan berbagai macam variasi dalam hukum adat di berbagai tempat .

Apabila terdapat anak adopsi, menurut hukum adat anak adopsi hanya akan mewarisi harta gono-gini bersama-sama dengan ahli waris yang lainnya. Anak angkat tidak berhak atas harta asal dari orang tua angkatnya, sebab ia juga akan menjadi ahli waris dari orangtua kandungnya.

Jadi dalam hukum adat dikenal sebutan bahwa anak adopsi memperoleh air dari dua sumber sebab disamping sebagai ahli waris orang tua kandungnya, ia juga menjadi ahli waris atas harta gono-gini dari orang tua angkatnya. Mengenai anak adopsi ini, hukum adat berbeda dengan hukum Islam dan hukum perdata barat BW. Hukum waris Islam dan hukum waris BW tidak mengenal anak angkat, sehingga dalam hukum waris Islam dan hukum BW tidak dikenal anak adopsi sebagai ahli  waris.

Dalam hukum adat apabila pewaris tidak meninggalkan anak kandung maka anak adopsi mendapat bagian yang sama dengan anak kandung. Pembagian harta warisan terhadap anak adopsi berbeda-beda disetiap daerah dan menurut adat dari daerah masing-masing.

Seperti misalnya anak angkat akan menerima bagian harta peninggalan orang tua adopsinya sapamere atau saasihna. DI Saruni, keraton (Kecamatan Pandeglang), anak adopsi dianggap sebagai ahli waris jika ditetapkan dengan akta Pengadilan Negeri. Sedangkan di Cianjur seorang anak angkat yang ditetapkan dengan akta notaris, baru dianggap sebagai ahli waris. Baik di daerah Cianjur maupun di daerah Banjar, Ciamis, Kawali, seorang anak adopsi tetap merupakan ahli waris dari orang tua kandungnya. Oleh karena itu, pengangkatan anak sama sekali tidak memutuskan kedudukannya sebagai ahli waris dari orang tua aslinya.[27]

Anak adopsi di daerah Kawali dan Cikoneng, mempunyai kedudukan yang berbeda dengan di daerah-daerah tersebut di atas. Di kedua derah ini, dijumpai ketentuan, bahwa anak adopsi akan menerima bagian dari harta peninggalan orang tua angkatnya sama besar dengan anak kandung dari orang tua angkatnya. Dalam hal ini wasiat atau hibah, anak adopsi akan menerima bagian sesuai dengan bunyi wasiat atau hibah, dengan ketentuan tidak melebihi 1/3 dari seluruh harta peninggalan (kawali).

Hak anak adopsi sama dengan hak anak kandung yaitu mempunyai hak untuk bisa dapat  penghidupan yang layak, hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, serta mendapatkan hak waris dari orang tua angkatnya.

Kedudukan hukum anak adopsi ini, di beberapa daerah lingkungan hukum adat di negeri ternyata tidak sama. Di dalam masyarakat hukum yang sifat susunan keluarganya parental, seperti di Jawa Tengah dan di Jawa Barat, dan di dalam masyarakat hukum yang sifat susunan kekeluargaannya  patrilineal, sepaerti di Bali kedudukan anak adopsi  adalah berbeda.

Di pulau Dewata perbuatan mengangkat anak adalah merupakan perbuatan hukum yang melepaskan anak itu dari pertalian keluarga dengan orang tua kandungnya serta memasukan anak itu ke dalam keluarga bapak angkatnya, sehingga selanjutnya anak tersebut berkedudukan sebagai anak kandung untuk meneruskan turunan bapak angkatnya.

Di Jawa (Timur-Tengah-Barat) perbuatan mengangkat anak hanyalah memasukan anak itu ke kehidupan rumah tangga orang tuanya saja, sehingga ia selanjutnya menjadi anggota rumah tangga orang tua yang mengangkatnya, tetapi tidak memutuskan pertalian keluarga antara anak itu dengan orang tuanya sendiri. Jadi anak angkat di daerah ini tidak mempunyai kedudukan anak kandung serta tidak diambil dengan maksud untuk meneruskan turunan orang tua angkatnya.

Prof. Bertling menulis tentang kedudukan anak angkat sebagai berikut: “bahwa anak adopsi adalah bukan waris terhadap barang-barang asal orang tua angkatnya, melainkan ia mendapat keuntungan sebagai anggota rumah tangga, setelah orang tua angkatnya meninggal dunia”).[28]

Kemudian seterusnya beliau menegaskan: “bahwa jikalau barang-barang gono-gini tidak mencukupi, pada bagian harta peninggalan nanti anak angkat dapat meminta bagian dari barang asal orang tua angkatnya yang tidak mempunyai anak anak kandung”

Tentang kedudukan hukum anak adopsi ini, kiranya perlu diperhatikan juga apa yang telah ditulis oleh Djodjodigeno Tirtawinata dalam buku mereka “Adat Privacrecht van Middle Java  yaitu sebagai berikut” “bahwa kedudukan anak adopsi dan anak kandung itu sepenuhnya sama, juga menutup anggota-anggota, kerabat lainnya sebagai ahli waris”. Ini adalah semata-mata merupakan penetapan secara konsekuen dari pada asas, bahwa adopsi adalah cara pengangkatan anak orang lain sebagai anak sendiri.[29]

Kedudukan hukum anak adopsi seperti dikemukakan oleh Prof. Djodjodigeno Tirtawinata di atas, baru diperoleh anak adopsi bila orang tua mengangkat, memandang dan memperlakukan anak itu sebagai anak sendiri, baik lahir maupun batin.

Hal yang perlu diperhatikan tentang anak adopsi  ini adalah, di Jawa khususnya, bahwa pertalian keluarga antara anak kandungnya dan orang tua aslinya tidak terputus, oleh karenanya, maka akan menjadi ahli waris dari orang tua kandungnyanya sendiri.

 

Sah atau Tidaknya Pembuat Surat Wasiat Tersebut Menurut Adat dan Hukum Indonesia

Berbicara masalah wasiat tidak terlepas dari masalah harta kekayaan, dalam hukum dikenan macam-macam harta diantaranya:[30]

1.     Harta kekayaan yang berwujud dan tidak dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya piutang yang hendak ditagih (Activa)

2.     Harta kekayaan yang merupakan utang-utang yang harus dibayar pada saat meninggal dunia atau pasiva.

3.     Harta kekayaan yang masih tercampur dengan harta bawaan masing-masing suami istri, harta bersama dan sebagainya dapat berupa:

-        Harta bawaan suami atau istri yang diperoleh sebelum mereka menikah baik berasal dari usaha sendiri maupun harta yang diperoleh sebagai warisan mereka masing-masing

-        Harta bawaan yang diperoleh dari setelah mereka menikah dan menjadi suami istri, tetapi bukan karena usahanya misalnya karena menerima hibah, wrisan dari oarang tua.

-        Harta yang diperileh selama dalam perkawinan atau usaha mereka berdua suami istri atau salah seorang dari mereka menurut Undang-undang menjadi harta bersama.

4.     Harta bawaan yang tidak dapat dimiliki langsung oleh mereka. Suami istri misalnya harta pusaka suku/klan atau kerabat mereka yang dibawa sebagai modal pertama dalam perkawinan yang harus dikembalikan kepada asalnya klan atau suku tersebut

Berhubungan erat dengan harta kekayaan tidak lepas dengan cara peralihannya diantaranya dapat beralih dengan cara jual-beli, tukar menukar, waris maupun hibah, yang berhubungan dengan kasus ini adalah cara peralihan melalui hibah wasiat

Harta hibah ialah harta kekayaan seseorang yang dibagi-bagikannya diantara anak-anaknya pada waktu ia masih hidup, pembagian barang-barang milik itu tidak selalu diikuti penyerahan seketika itu juga dari barang-barang itu kepada yang mendapat barang masing-0masing dan baru akan diserahkan apabila pemberi harta sudah meninggal dunia. Kalau itu terjadi maka perbuatan itu merupakan “hibah wasiat.[31]

Sering hibah wasiat itu terjadi kalau  pemilik kekayaan mempunyai keinginan supaya harta kekayaannya dikemudian hari setelah meninggal dunia akan diperlukan menurut cara tertentu. Terlebih apabila keinginan ini akan terasa apabila hukum waris yang dilaksanakan tidak cocok sama sekali dengan keinginannya.

Tujuan hibah wasiat adalah mewajibkan para ahli waris untuk membagi harta warisan dengan cara yang layak menurut anggapan pewaris. Maksud alinnya untuk mencegah perselisihan. Syarat pokok untuk membuat “hibah wasiat” pada umumnya sama dengan syarat pokok bagi orang yang melakukan perbuatan hukum, yaitu bahwa orang itu harus mampu menentukan kemauannya secara bebas dari mereka.

Perbedaannya terletak pada “hibah biasa” pada umumnya tidak bisa ditarik kembali. Sedangkan “hibah wasiat” ini merupakan kemauan terakhir dari seorang manusia sebelum ia meninggal. Hibah wasiat dapat ditarik kembali oleh si penghibah, maka sebetulnya tidak merupkan kemauan terakhir. Penarikan ini dapat dilakukan secara tegas atau secara diam-diam. Hibah wasiat itu harus dilakukan di hadapan notaris.[32]

Ada kalanya pada keluarga Jawa ketika orang tua (pewaris) dalam keadaan sakit yang putus harapan akan panjang umru maka akan mengumpulkan anggota keluarga, anak istri dan mungkin juga tetangga dan perangkat desa (para ketua desa),  untuk menyampaikan pesan tentang bagaimana seharusnya harta peninggalannya kelak dibagi dan diselesaikan apabila ia wafat. Pesan demikian itu disebut “welingan, wekasan, atau wasiat’. Pesan tersebut dapat dimaksudkan bukan untuk pembagian harta peninggalan, melainkan juga pesan khusus tentang hutang piutang, anjuran perkawinan dan pesan-pesan lainnya.

Oleh karena itu membuat wasiat bagi seorang pewaris untuk para warisnya dianjurkan jika untuk menjaga keseimbangan diantara para ahli waris. Banyaknya harta yang dapat diwariskan tidak boleh lebih dari 1/3 bagian dari seluruh warisan, dan jika lebih diperhitungkan lagi bagi para ahli waris yang lain. Dan apabila telah dimaksudkan  untuk membuat surat wasiat hendaknya lebih cepat lebih baik. Yang penting adalah bahwa para ahli waris itu di kemudian hari seluruhnya bahagia dan sejahtera serta rukun hidup mereka.[33]

 

ANALISIS ANAK ADOPSI DAN WASIATNYA

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas apabila dihubungkan dengan kasus yang penulis teliti, maka terdapat penyimpangan yang dilakukan Hj. Fatimah dalam memberikan hartanya kepada Yasin, hal ini sesuai dengan pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung yang menyatakan:

Menurut Mahkamah Agung, Judex Facti salah menafsirkan wasiat dari almarhum Hj. Fatimah, dalam “Surat Pernyataan Penyerahan Hak Milik” (bukti T-1a) adalah sah. Sedangkan menurut Mahkamah Agung Wasiat tersebut adalah tidak sah, dengan alasan sebagai berikut:

1.     Dalam wasiat, tidak disebutkan secara tegas dan jelas kepada siapa badan/Lembaga apa yang akan diterima harta benda yang diwariskan.

2.     Yang diwariskan meliputi seluruh harta benda milik Hj. Fatimah (Petak D dalam bukti T – 1a), sedangkan menurut hukum yang diperbolehkan untuk mewasiatkan hanya 1/3 bagian. Wasiat terhadap seluruh harta benda diperbolehkan jika ada persetujuan dari ahli waris.

Alat bukti T-1a tersebut menurut isinya adalah wasiat (bukan hibah atau infaq), karena wasiat, baru akan berlaku jika yang bersangkutan telah meninggal dunia (vide-T-1a)

Dengan alasan yuridis di atas, menurut pendapat penulis pemberia surat wasiat dari Hj. Fatimah kepada Tergugat adalah tidak sah menurut hukum, karena seperti dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 196 yaitu dalam wasiat baik secara tertulis maupun secara lisan harus disebutkan dengan tegas dan jelas siapa dan atau siapaa-siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerima harta benda yang diwasiatkan.

Selain itu pembuatan surat wasiat tersebut dibuat pada saat Hj. Fatimah dalam keadaan sakit keras sehingga hal ini juga yang menjadi alasan pemberian surat wasiat tersebut tidak sah menurut hukum karena seperti yang tercantum dalam Pasal  895 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu “Untuk dapat membuat atau menarik kembali suatu wasiat, orang harus mempunyai budi akal, artinya tidak boleh membut testament ialah orang sakit ingatan dan orang yang sakitnya berat, sehingga ia tidak dapat berfikir secara teratur.

KESIMPULAN

Setelah melakukan penelitian dan pembahasan masalah, maka dapat penulis tarik kesimpulan sebagai berikut :

1.     Dalam relisasinya hibah wasiat merupakan suatu jalan bagi pemilik harta kekayaan untuk semasa hidupnya menyatakan keinginannya yang terakhir tentang pembagian  harta peninggalannya kepada ahli waris yang baru akan berlaku setelah ia meninggal dunia. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam kasus putusan Mahkamah Agung RI. No.311 K/PDT/1996 mengenai Pembatalan Surat Wasiat dalam sengketa harta warisan, antara Wakini (Penggugat) dan Yasin (Tergugat) dalam pelaksanaan Putusan  Mahkamah Agung RI terhadap perkara tersebut adalah lebih tepat dalam  penerapan hukumnya. Dalam putuan tersebut Mahkamah Agung menerangkan   bahwa  pihak penggugat adalah pihak yang benar karena berdasarkan bukti-bukti dan temuan nyata yang terungkap di persidangan menguatkan pada dalil gugatan penggugat;

2.     Permasalahan yang terjadi dalam kasus perdata dari putusan Mahkamah Agung RI No.311 K/PDT/1996 Tentang  pembatalan Surat Wasiat dalam Sengketa Harta Warisan, adalah surat pernyataan penyerahan hak milik dengan sepenuhnya tersebut menurut isinya adalah wasiat (bukan  Hibah atau Infak) karena wasiat, baru akan berlaku, jika yang bersangkutan telah meninggal dunia. Dengan alasan yuridis pemberian surat wasiat dari Hj. Fatimah kepada Tergugat adalah tidak syah menurut hukum, karena dalam pembuatan surat wasiat harus dalam keadaan berakal  sehat, dalam pembuatan surat wasiat tersebut tanpa dilegalisir oleh pejabat yang seharusnya atau notaris dan dalam surat wasiat tersebut juga tidak disebutkan dimana letak, luas serta petok-petok dari tanah tersebut, sehingga Mahkamah Agung menjadikan surat wasiat tersebut tidak sah menurut hukum.   

 

DAFTAR PUSTAKA

 

A. Pitlo, Dalam Asa Aarief. 1979, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda. (Jakarta : Intermasa.Pustaka Sinar Grafika).

Abdurrahman, 1995, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta, Akademi Presindo)

Afdhol, “Pengangkatan Anak Dan Aspek Hukumnya Dalam Hukum Adat”, Makalah Dalam Seminar Tentang Pengaturan Dan Akibat Hukum Pengangkatan Anak (Depok: Fhui, 29 Desember 2006)

Bushar Muhammad, 1981, Pokok-Pokok Hukum Adat (Jakarta: Pradya Paramita)

Dewi Rosdiana, Tinjuan Yuridis Terhadap Kedudukan Surat Wasiat, (Tesis), Sukabumi

Eman Suparman, Hukum Kewarisan Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat,Dan Bw

Http://Almanhaj.Or.Id/Content/1929/Slash/0/Adopsi-Dan-Hukumnya/

Eman Suparman. 1991, Intisari Hukum Waris Indonesia, (Bandung: Mandar Maju)

Eman Suparman. 2005, Intisari Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat, Dan Bw, (Bandung: Pt Refika Aditama)

Hilman Hadikusuma, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju).

Amir Syarifudin. 2004. Hukum Kewarisan Islam. (Jakarta: Prenada Media)

Hasballah Thaib. 1992. Hukum Benda Menurut Islam, Medan: Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa.

Johnny Ibrahim. 2006. Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. (Malang: Bayu Media Publishing).

Lexy J. Moleong. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. (Bandung: Pt Remaja Rosdakarya).

M.Ali Sayis. 1953. Hukum Waris Islam. (Surabaya: Al Ikhlas)

M. Fahmi Al Amruzi, 2012, Rekontruksi Wasiat Wajibah Dalam Kompilasi Hukum Islam, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo)

Nina Nurmila, 2021, Modul Gender dalam Islam, (Bandung: UIN Sunan Gunung Djati)

Peter Mahmud Marzuki. 2008. Penelitian Hukum. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group).

Sayid Sabiq. 1988. Fikih Sunnah. (Bandung: PT. Al-Ma’arif).

--------------. 1990. Fikih Sunnah. (Bandung: Pt. Al-Ma’arif).

Sayuti Thalib. 1984. Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia. (Jakarta: PT.Bina Aksara).

Soerjono Soekanto. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: UI Press).

Soedharyo Soimin, Kitab Undang Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika) 

Sulaeman Rasyid, 1964, Fiqh Islam, (Jakarta:Sinar Baru Algensindo)

Sulaiman Al Faifi, 2014, Ringkasan Fiqih Sunnah, (Jakarta: Beirut Publishing)

Surojo Wignjodipuro, 1995, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Pt Toko Gunung Agung).

Wirjono Prodjodikoro. 1983, Hukum Warisan Di Indonesia. (Bandung: Sumur)

Imam Sudiat, 1981, Hukum Adat Sketsa Adat, (Yogyakarta; Liberty)

M. Budiarto, 1985, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, (Jakarta; Akademika Presindo)

Muderis Zaini, 1992. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistim Hukum, (Jakarta; Sinar Grafika), Cet: 11

M. Budiarto, 1985, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Tigas Sistem Hukum, (Jakarta: Akademika, Pressindo)

Soedaryo Soimin, 1992, Hukum Orang Dan Keluarga, (Jakarta; Sinar Gratika).

Soerjono Soekanto Dan Soleman B. Takeko, 1983, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta; Rajawali)

Sumiati Usman, “Kedudukan Hukum Anak Angkat Terhadap Hak Waris” Dimuat Dalam Les Privatum, Vol.1/No.4/Oktober/2013

Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum Belanda, Indonesia-Inggris,( Semarang: Aneka)

Dedi Supriyadi. 2009, Perbandingan Hukum Perkawinan Di Dunia Islam. (Bandung: Pustaka Al Fikriis)

Fadil Sj, 2013, Pembaruan Hukum Keluarga Di Indonesia. 1.(Malang: Uin Maliki Fress).

Nugraha, Dian Rahmat. “Sengketa Wasiat Wajibah Pada Putusan MA RI No.311 K/Pdt/1996.” Jurnal 1 (2014): 31.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku Kedua Bab Xiii

UU No.1tahun 1974 Tentang Pengelolaan Perkawinan

Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975

UUPA



[1] Undang-Undang Hukum Keluarga tahun 1974 Pasal 1 ayat, dalam Nina Nurmila, Modul Gender dalam Islam, (Bandung: UIN Sunan Gunung Djati, 2021), 88

[2] Q.S Al-Nahl [16]: 72.

[3] Soerjono Soekanto dan B Solaeman. Takeko, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1983), 275.

[4] Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan (UU No.l Tahun 1974)

[5] Imam Sudiat, Hukum Adat Sketsa Adat, (Yogyakarta: Liberty, 1981), 102

[6] Q.S. Al-Ahzab Ayat 4-5

[7] Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistim Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992) Cet: 11, 7-8.

[8] Wawancara Enjang, asal Indihiang, tanggal 20 Februari 2021

[9] Wawancara Ido Ridwanullah, tanggal 26 Februari 2021

[10] Wawancara H. Endang Munawar, Ketua DMI Bungursari Tasikmalaya, pada 23 Februari 2021.

[11] Wawancara Ido Ridwanullah, tanggal 26 Februari 2021

[12] Eman Suparman. Intisari Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat, Dan Bw, (Bandung: Pt Refika Aditama, 2005)

 

[13] Soedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta: Sinar Gratika, 1992), 42.

[14] M. Budiarto, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, Jakarta; Akademika Presindo, 1985, 45

[15] Abdurrahman, KHI di Indonesia, (Jakarta: Akademi Presindo, 1995), 164

[16] Abdurrahman, 1995, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta, Akademi Presindo)

[17] Eman Suparman. 2005, Intisari Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat, Dan BW, (Bandung: Pt Refika Aditama)

[18] Abdurrahman, 1995, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, ….., 170

 

[19] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, ….., 175

[20] Hilman Hadikusuma, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1992).

[21] Eman Suparman. 2005, Intisari Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat, Dan BW, (Bandung: Pt Refika Aditama)

[22] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademi Presindo, 1995)

[23] Eman Suparman. 2005, Intisari Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat, Dan BW, (Bandung: Pt Refika Aditama)

[24] Dewi Rosdiana, Tinjuan Yuridis Terhadap Kedudukan Surat Wasiat, (Tesis), Sukabumi

 

[25] Dewi Rosdiana, Tinjuan Yuridis Terhadap Kedudukan Surat Wasiat, (Tesis), Sukabumi

[26] Eman Suparman. 2005, Intisari Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat, Dan BW, (Bandung: Pt Refika Aditama)

 

[27] Nugraha, Dian Rahmat. “Sengketa Wasiat Wajibah Pada Putusan MA RI No.311 K/Pdt/1996.” Jurnal 1 (2014): 31.

[28] Afdhol, “Pengangkatan Anak Dan Aspek Hukumnya Dalam Hukum Adat”, Makalah Dalam Seminar Tentang Pengaturan Dan Akibat Hukum Pengangkatan Anak (Depok: Fhui, 29 Desember 2006)

[29] Nugraha, Dian Rahmat. “Sengketa Wasiat Wajibah Pada Putusan MA RI No.311 K/Pdt/1996.” Jurnal 1 (2014): 31.

[30] M. Fahmi Al Amruzi, 2012, Rekontruksi Wasiat Wajibah Dalam Kompilasi Hukum Islam, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo)

[31] Dewi Rosdiana, Tinjuan Yuridis Terhadap Kedudukan Surat Wasiat, (Tesis), Sukabumi

[32] Nugraha, Dian Rahmat. “Sengketa Wasiat Wajibah Pada Putusan MA RI No.311 K/Pdt/1996.” Jurnal 1 (2014): 31.

[33] Nugraha, Dian Rahmat. “Sengketa Wasiat Wajibah Pada Putusan MA RI No.311 K/Pdt/1996.” Jurnal 1 (2014): 31.

 

Post a Comment

0 Comments