Tubaba, LHI
Kabupaten
Tulang Bawang Barat (Tubaba), Lampung, akan menggelar acara bertajuk Sharing
Time: Megalithic Millennium Art pada tanggal 22-26 Januari 2020, bertempat di
sejumlah venue: Kota Budaya Ulluan Nughik, Sessat Agung, Las Sengok (Tiyuh
Karta) dan Situs Patung Megouw Pak.
Acara
ini berisi beberapa sesi kegiatan, di antaranya sarasehan, workshop, dan
pementasan seni.Rencananya acara ini akan dibuka oleh Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nadiem Makarim. Pejabat Negara yang juga akan
hadir adalah Hilmar Farid (Dirjen Kebudayaan Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia) yang akan menjadi pembicara dalam sarasehan
dengan tajuk “Membangun Manusia lewat jalan Kebudayaan”.
Para
penyaji yang akan hadir adalah; Andy Burnham (arkeolog, pendiri dan editor web
Megalithic Portal, Inggris), Alex Gebe (seniman, anggota Teater Kober,
Lampung), Ari Rudenko (seniman lintas disiplin
dari Amerika Serikat), Anna Thu Schmidt (penari asal Jerman yang
menyelesaikan studi masternya di Throndeim, Norwegia), Agus Sangishu (Rumah
Tari Sangishu, Lampung), dan Bettina Mainz
(penari, guru dan terapis trauma berbasis di Berlin, Jerman) yang akan
pentas kolaborasi bersama suaminya Rodolfo Mertig (fisikawan) dan putra mereka
Sebastian Mainz-Mertig (usia 11 tahun).
Juga
akan hadir Daniel Oscar Baskoro (periset asal Yogyakarta yang berbasis di
Univesitas Columbia, New York, Amerika Serikat), Dian Anggraini (penari dan
dosen asal Lampung), Diantori Dihan (koreografer, pimpinan Gar Dancestory,
Lampung), Edhyitia Rio (komposer, anggota Orkes Ba’da Isya, Lampung), Frances
Rosario (seniman, Amerika Serikat), Prof Dr Haris Sukendar (mantan kepala Badan
Arkeologi Nasional), Diane Butler (seniman gerak, pimpinan Dharma Nature Time,
Bali), Halilintar Latief (antroplog, Universitas Negeri Makassar), Keith Miller
(Inspektorat Monumen Kuno untuk English
Heritage, Inggris), Katsura Kan (seniman Butoh asal Jepang), Margit Galanter
(Penyair Tari dan Instigator Kebudayaan, Amerika Serikat), Mara Poliak
(perfomer, Amerika Serikat), Moris Shakaia (Performer, Russia), Peter Chin
(Performer, Kanada), Rianto (penari asal Solo berbasis di Jepang), Sandrayati
Fay (komposer dan penyanyi asal Ubud, Bali), Transpiosa Riomandha (antropolog,
Yogyakarta) dan Mariana Isa (arsitektur dan peneliti, Malaysia).
Siswa-siswa
Tubaba yang terpilih juga akan menjadi
pembicara dalam acara sarasehan dengan tajuk “Tubaba 100 Tahun Kemudian”. Pada
pembukaan acara sejumlah 70 siswa-siswa Sekolah Seni Tubaba akan membawakan
Tari Nenemo, selain itu akan ditampilkan pementasan musik Q-Thik, tari Sigeh
Pengunten dan Seni Kulintang. Prosesi lain adalah: penanaman bibit pohon
bersama, pelepasan ikan, pelepasan kerbau (panitia masih mikir-mikir) dan
peletakan batu di Las Sengok, sebuah wilayah yang kelak akan dikembangkan
menjadi hutan lindung Q-Forest, terletak di Tiyuh Karta.
Dijelaskan
oleh Ketua Panitia, Semi Ikra Anggara, bahwa acara ini digagas oleh Suprapto
Suryodarmo (Alm) dan Umar Ahmad.
“Suprapto
Suryodarmo adalah seniman yang dikenal luas melalui sebuah metode performance
yang bernama “Joget Amerta”. Sebagai metode olah gerak, Joget Amerta menekankan
pada pencarian ke dalam (inner), dari kedalaman diri lalu membangun kesadaran
akan hubungan dengan lingkungan, manusia dan Tuhan. Joget Amerta bukanlah tari
dalam pengertian teknis, memiliki teknik-teknik gerak yang baku, tapi seperti apa yang dikatakan oleh maestro
Sardono W Kusumo apa yang dilakukan Suparpto Suryodarmo justru menjadi lebih
penting karena dia mampu menciptakan atmosfer tari. Sebagian orang menyebut
Joget Amerta sebagai meditasi gerak,” kata Semi.
Sedangkian
Umar Ahmad, lanjut Semi, adalah Bupati Kabupaten Tulang Bawang Barat (Tubaba)
yang memiliki visi menjadikan Tubaba sebagai satu wilayah yang memiliki
atmosfer kebudayaan sekaligus wilayah yang memiliki wawasan ekologis. Dia
percaya bahwa melalui pendidikan kesenian dan lingkungan manusia bisa berubah
menjadi lebih baik, menjadi lebih beradab. Dalam lima tahun terkahir anak-anak
di Tubaba bisa berlatih kesenian seperti teater, sastra, seni rupa, musik,
film, fotografi dan tari. Juga berlatih pendidikan ekologi untuk membangun
kesadaran dalam praksis sehari-hari, menumbuhkan kesadaran seperti tidak
membuang sampah sembarangan, pengurangan sampah plastik, menanam pohon hingga
pengetahuan pertanian permakultur.
Sementara
terma Sharing Time: Megalthic Millennium Art menunjukan pertemuan dua tradisi:
Mbah Prapto yang selama puluhan tahun berlatih Joget Amerta di situs-situs
Megaltik (selain candi), sebagai ruang sunyi yang mendekatkan diri dengan alam,
Tuhan dan peradaban masa silam. Sementara Millennium merujuk pada manusia dan
situasi masa kini. Berkorelasi pula pada masifnya pendidikan kesenian dan
lingkungan pada anak-anak di Tubaba, berkat wawasan sebab merekalah
sesungguhnya pemilik Tubaba di masa depan.
Maka
terma Sharing Time: Megalithic Millennium Art memiliki spektrum pengertian
teramat kaya. Kita akan lebih memahaminya dalam seluruh gelaran acara yang berupa:
sarsehan, workshop dan pertunjukan.
Kontak
Panitia:
0822
91111099 (Andika)
Email:
megaliticmillenial@gmail.com
(AFRIZAL CHANDRA)**
0 Comments