PemkabOKU Selatan

PemkabOKU Selatan
Idhul Adha 1445 H

Tedi Yusnanda N: Pengangguran dan Kondisi Honorer di Pangandaran: "Fenomena Perbudakan Modern yang Tak Tercatat"



Pangandaran LHI

Menjelang Pilkada Pangandaran 2024, isu pengangguran terbuka dan nasib tenaga honorer yang tak terbayar menjadi sorotan publik.

Tedi Yusnanda N., pegiat Sarasa Institute, menyoroti bahwa angka pengangguran di Pangandaran, meskipun terlihat rendah dibandingkan daerah lain di Jawa Barat, memiliki dampak yang signifikan pada kesejahteraan masyarakat.

"Menurutnya, masalah ini adalah cerminan lemahnya tata kelola keuangan daerah, yang terlihat dari defisit anggaran dan ketidakmampuan membayar honorer secara tepat waktu.

Angka Kecil Tidak Menjamin Dampak Kecil"

“Angka pengangguran rendah tidak selalu berarti situasi ekonomi baik-baik saja, kita harus melihat jumlah penduduk setiap wilayah untuk menilai dampak secara komprehensif,” ungkap Tedi.

Tedi menjelaskan bahwa meskipun pengangguran di Pangandaran lebih rendah secara kuantitas dibanding daerah lain di Jawa Barat, dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat bisa lebih signifikan.

“Sebuah angka yang kecil, dalam konteks wilayah dengan populasi yang juga kecil, dapat membawa efek ekonomi yang lebih besar dan merusak daya beli serta kualitas hidup masyarakat,” tambahnya.

Dalam analisis ekonomi makro, Tedi menekankan pentingnya memahami efek domino dari penurunan daya beli di daerah dengan basis ekonomi yang masih rentan seperti Pangandaran.

Tedi juga mencontohkan teori multiplier effect, yang menggambarkan bagaimana penurunan pengeluaran masyarakat dapat berdampak pada sektor-sektor produktif lainnya, terutama pariwisata yang menjadi tulang punggung ekonomi lokal.

“Di Pangandaran, jika daya beli menurun, sektor pariwisata yang menjadi andalan ikut terpukul, sehingga potensi pengangguran bahkan bisa semakin meluas,” kata Tedi.

Nasib Honorer yang Tak Terbayar: "Perbudakan Modern yang Tak Terlihat"

Lebih jauh, Tedi juga menyoroti nasib tenaga honorer yang bekerja tanpa bayaran sebagai bentuk pengangguran terselubung."Mereka ini, kata Tedi, tak masuk dalam statistik pengangguran karena secara teknis tetap bekerja, tetapi tidak menerima bayaran yang layak.

“Para honorer ini adalah contoh dari apa yang saya sebut sebagai perbudakan modern, bekerja tanpa dibayar dengan janji yang terus digantungkan hingga kondisi keuangan membaik,” jelasnya.

Tedi menggambarkan kisah honorer yang terus bekerja tanpa kepastian gaji sebagai "mitos Sisyphus," di mana mereka terus-menerus mendorong batu ke atas hanya untuk jatuh kembali.

“Dalam ekonomi mikro, mereka yang bekerja tanpa dibayar adalah tenaga kerja yang tidak produktif secara ekonomi, mereka seperti Sisyphus yang terjebak dalam siklus kerja tak bernilai,” ujarnya.

"Menurut teori ekonomi mikro, keberadaan tenaga kerja yang tidak diberi kompensasi layak berdampak pada rendahnya produktivitas dan kesejahteraan yang pada akhirnya melemahkan ekonomi lokal.

Defisit Anggaran dan Lemahnya Tata Kelola Keuangan Daerah

Selain masalah tenaga honorer, Tedi juga menyoroti defisit anggaran daerah yang berulang sebagai cerminan dari lemahnya tata kelola keuangan pemerintah Pangandaran.

“Defisit anggaran mengindikasikan perencanaan yang tidak matang dan alokasi yang tidak efektif, sehingga APBD justru lebih banyak digunakan untuk biaya operasional daripada investasi produktif,” tegasnya.

Dalam teori ekonomi makro, pemerintah daerah diharapkan mampu mengelola anggaran untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui belanja yang efektif dan produktif, seperti menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

"Namun, defisit anggaran di Pangandaran justru membuat pemerintah tidak mampu memenuhi hak-hak dasar tenaga honorer.

“Kondisi ini menunjukkan ketidakmampuan pemerintah mengelola APBD dengan baik dan mengarahkannya untuk kebutuhan masyarakat, bukan hanya untuk biaya rutin yang tidak memberi dampak nyata,” imbuh Tedi.

Momentum Pilkada untuk Perubahan

Di tengah situasi yang memprihatinkan ini, Tedi berharap Pilkada Pangandaran 2024 bisa menjadi titik balik bagi tata kelola keuangan dan kebijakan ketenagakerjaan di daerah tersebut. “Pemimpin yang terpilih nanti harus punya komitmen kuat untuk memastikan honorer menerima haknya dan tidak lagi terjebak dalam lingkaran janji tanpa bayaran,” tegasnya.

Menurut Tedi, Pilkada ini adalah kesempatan bagi masyarakat Pangandaran untuk memilih pemimpin yang tidak hanya memahami angka statistik tetapi juga kualitas hidup masyarakat di balik angka tersebut.

“Pengangguran dan nasib honorer ini bukan sekadar angka atau data, tetapi mencerminkan kualitas kesejahteraan masyarakat yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah. Pilihlah pemimpin yang mampu membawa perubahan nyata dan menjadikan keuangan daerah sebagai alat untuk kesejahteraan, bukan sebagai jebakan utang atau janji yang tak ditepati,” pungkasnya. (AS)**

 

Post a Comment

0 Comments