DEMAK, LHI.
Pemotongan bantuan dana Bantuan Sosial Tunai (BST) di Dukuh Melawung, Desa Karangrejo, Kecamatan Bonang Kabupaten Demak ternyata benar-benar ada dan diakui oleh oknum aparat Desa tersebut. Hal tersebut seperti diungkapkan oleh Ketua RW 6 Dukuh Melawung Desa Karangrejo, Mansyur, saat dikonfirmasi awak media di rumahnya, Senin (22/2/2021).
Dirinya mengatakan, pemotongan bantuan tersebut memang terjadi dan ada. Namun kata dia, pemotongan sudah melalui kesepakatan bersama antara warga yang mendapatkan bantuan dan masyarakat lainnya. Untuk masyarakat yang tidak mendapatkan bantuan BST atau BLT diminta uang sodaqoh sebesar Rp. 10 ribu. Sedangkan untuk warga yang mendapatkan bantuan diminta Rp. 50 ribu. "Sebelumnya begini, teman-teman di dukuh sini begini, melihat makam itu tidak ada lampu, lihat tetangga desa kok senang ada lampunya. Akhirnya teman-teman pada musyawarah, la kira-kira nanti dikasih lampu pada cocok nggak RT RW ini, la asalnya gitu, nah cocok, la kira-kira kalau kalian-kalian yang dapat bantuan itu ditambah, gak sama dengan masyarakat kira-kira pada siap nggak, oh siap, akhirnya masyarakat bermusyawarah yang tidak dapat bantuan ditarik Rp. 10 ribu, dan yang dapat bantuan Rp. 50 ribu. Nah berawal dari situ kemudiaan masyarakat ditarik iuran segitu dan pada setuju," ungkapnya.
Menurut Mansyur, pemotongan yang terjadi di dukuh Melawung bukan hanya dari bantuan BST saja melainkan terhadap jenis bantuan lainnya juga ada. Karena menurutnya semua itu atas kesepakatan bersama karena sebelumnya sudah ada musyawarah. "Mohon maaf masalah hal yang dipotong itu bukan hanya BST saja, kalian kan tidak tahu aslinya, istilahnya yang dipotong itu sudah ada musyawarah sebelumnya, termasuk saya juga ikut. Diantaranya BST dan bantuan beras, dan lainnya," terang Mansyur.
Mansyur menambahkan, untuk potongan BST sebesar Rp. 50 ribu merupakan keputusan melalui musyawarah yang ada di dukuh Melawung. Dan dana tersebut, menurutnya digunakan untuk perbaikan jalan menuju makam dan pemasangan lampu jalan. "Itu istilahnya permintaan Rp. 50 ribu bukan dari Kadus atau ketua RW tapi dari pihak masyarakat yang minta dan mereka bersedia," tuturnya.
Hal senada juga diungkapkan Kadus Melawung, H. Munir. Dirinya membenarkan bahwa pemotongan BST di wilayahnya memang ada. Menurutnya, dana tersebut digunakan untuk kegiatan lingkup RW. "Betul, sekalipun itu katakanlah bahasanya dipotong, tapi itu semua untuk kegiatan lingkup RW. Itu begini ceritanya, saat ada orang meninggal di makam, warga saat itu berinisiatif mengusulkan agar dipasang lampu, akhirnya kesimpulannya diminta iuran dari warga," terangnya.
Menurutnya, untuk warga yang tidak dapat bantuan diminta Rp. 15 ribu, sedangkan bagi warga yang mendapatkan bantuan diminta Rp. 50 ribu. Dana yang terkumpul tersebut menurut H. Munir, dipergunakan untuk perbaikan jalan makam, pasang lampu dan membeli padas.
Disinggung mengapa pembangunan fasilitas jalan di kampungnya yang menuju makam tidak diusulkan menggunakan anggaran Dana Desa, H. Munir mengatakan bahwa Dana Desa sudah ada pos posnya. Menurutnya ide tersebut muncul karena ada kesepakatan bersama dari seluruh warga. "Untuk Dana Desa sudah ada jobnya masing-masing maksudnya setiap gang untuk dukuh sini katakanlah 2020 berapa titik sudah ada," tandasnya.
Namun, pengakuan dari aparat desa Melawung dibantah oleh beberapa warga yang menerima BST. Menurut salah satu warga yang tidak bersedia disebutkan namanya mengaku bahwa dirinya bersama warga penerima bantuan lain sebelumnya tidak pernah diajak musyawarah terkait pemotongan dana tersebut. Namun setelah berita terkait pemotongan BST ramai di Media, dirinya bersama warga penerima bantuan lainnya pada Kamis malam (18/2) lalu diundang berkumpul di rumah ketua RW. Oleh oknum aparat Desa, para warga yang mendapatkan bantuan disuruh mengaku kalau ditanya terkait pemotongan BST disuruh bilang kalau dana tersebut adalah dana sodaqoh.
"Di rumahnya pak RW, semua yang dapat bantuan dikumpulkan jadi satu. Kalau ada apa-apa disuruh ngaku kalau itu uang sodaqoh," ungkapnya. Sementara itu Kepala Desa Karangrejo, Widyarti mengaku tidak mengetahui adanya pemotongan bantuan yang terjadi di dukuh Melawung. Menurutnya, dari pihak pemerintah desa tidak pernah menyuruh dan meminta untuk memotong bantuan yang diberikan kepada warga. "Kalau dari pemerintah desa itu tidak pernah menyuruh, intinya dari pemerintah desa itu tidak ada pemotongan. Terus terang waktu saya dapat kabar itu kan saya konfirmasi ke Kadus Melawung nya ke pak Bayan Melawung nya bahwa itu tidak ada pemotongan, tapi di wilayah Melawung itu memang ada istilahnya seperti sodaqoh gitu lho pak bersama-sama katanya sudah musyawarah di desa itu untuk pembangunan makam," tuturnya.
Dari perangkat Melawung nya sendiri menurut Widyarti, sudah dikonfirmasi bahwa tidak ada pemotongan, tapi itu bentuk sosial di wilayah Melawung sendiri. Katanya pemotongan itu sudah melalui musyawarah bersama-sama warga serta RT RW. "Jadi kalau misalnya ada penarikan segini-segini ya itu sesuai musyawarah di wilayah Melawung.
Intinya gitu, pokoknya dari pemerintah desa tidak pernah menyuruh tidak pernah meminta," pungkasnya. Kades Widyarti menegaskan, bahwa pihaknya tidak memperbolehkan dana bantuan dilakukan pemotongan. Bila itu terjadi, pihaknya akan mengambil tindakan tegas.
Seperti diberitakan sebelumnya, pemotongan dana Bantuan Sosial Tunai (BST) dari Kementerian Sosial sebesar Rp. 50 ribu per orang terjadi di DK Melawung, Desa Karangrejo, Kecamatan Bonang Kabupaten Demak. Pemotongan BST diduga dilakukan oleh oknum aparat desa dengan dalih sebagai kas warga. Salah satu warga Dukuh Melawung, Desa Karangrejo berinisial A, kepada awak media mengatakan, setiap keluarganya mengambil bantuan sosial tunai tersebut, oknum aparat desa selalu memotong sebesar Rp. 50 ribu dengan alasan uang tersebut akan digunakan untuk kegiatan warga di wilayahnya. Namun kenyataannya, saat salah satu warga akan meminta uang untuk perbaikan lampu contohnya, ternyata uang kas tidak ada.
“Setiap dapat bantuan ada pemangkasan 50 ribu, alasannya untuk kegiatan warga tingkat RT RW. Kalau saya sebenarnya mengelak, tapi berhubung keluarga yang lain pada ngasih ya akhirnya saya terpaksa ngasih. La saya bertanya-tanya, saya memberontak, la dana itu larinya kemana kok setiap saya ada kegiatan mau benerin lampu, setiap minta uang kok tidak ada kas,” ungkapnya. Menurut A, pemotongan tersebut sudah terjadi semenjak keluarganya pertama kali mendapatkan bantuan sekitar bulan Maret 2020 lalu saat jumlahnya masih sebesar Rp. 600 ribu. Dari bantuan Rp. 600 ribu tersebut, kemudian dipotong Rp. 50 ribu oleh oknum aparat desa sehingga keluarganya hanya menerima Rp. 550.000, Demikian juga saat keluarganya menerima BST yang jumlahnya Rp. 300 ribu dipotong lagi Rp. 50 ribu sehingga tersisa Rp. 250 ribu.
Pemotongan tersebut, kata A, dilakukan di rumah setelah warga mengambil bantuan di Balai Desa atau kantor pos. Warga lain yang juga penerima BST yang tidak bersedia disebutkan namanya mengaku bahwa selama dirinya menerima bantuan dari Pemerintah tersebut selalu dipotong Rp. 50 ribu juga. “Saya menerima Rp. 300 ribu, tapi dipotong Rp. 50 ribu sama dia (oknum aparat di desa/red). Saya sudah lima kali dapat bantuan dan semuanya dipotong Rp. 50 ribu,” terangnya. (Agus Hambali/Purnomo)
0 Comments