Meranti
LHI
Selatpanjang (03/09/20),
Dalam rangka menanggapi surat permohonan dukungan untuk klarifikasi kawasan
Gambut di Kepulauan Meranti oleh Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT),
DPRD Kabupaten Kepulauan Meranti dalam hal ini Komisi I menggelar rapat dengar
pendapat dengan IPPAT dan Pemerintah Daerah yang diwakili oleh Bagian Tata
Pemerintahan dan Otonomi Daerah serta Bagian Hukum dan HAM Sekretariat
Daerah Kabupaten Kepulauan Meranti, Kamis, 3 September 2020 di Kantor
DPRD Kabupaten Kepulauan Meranti.
Rapat
yang diakomodir oleh Komisi I DPRD Kabuapten Kepulauan Meranti dipimpin
langsung oleh Pauzi, SE. selaku Ketua Komisi I. Hadir pula H. Khalid Ali
sebagai Wakil Ketua DPRD Kabupaten Kepulauan Meranti sekaligus Koordinator
Komisi I, Boby Haryadi sebagai Wakil Ketua Komisi I, Al Amin A, S.Pd
sebagai Sekretaris Komisi I, serta Auzir dan Khosairi, S.Hi., M.Pd.i, sebagai
Anggota Komisi I. Dari perwakilan IPPAT, dihadiri oleh Adelina Hernawaty
Gultom, SH., M.Kn sebagai Ketua IPPAT, Nina Surya Fitri, SH., M.Kn sebagai
Sekretaris IPPAT, Reni Setiawati, SH., M.Kn, selaku Bendahara beserta
Husnalita, SH., M.Kn, dan Sri Wati, SH., M.Kn sebagai pengurus IPPAT Kab.
Kepulauan Meranti. Sedangkan dari Pemerintah Daerah diwakili oleh Jhon Hendri
selaku Kabag. Tata Pemerintahan dan Otda, beserta jajarannya, dan Bagian Hukum
dan HAM yang diwakili oleh Rahmawati selaku Kasubag. Bantuan Hukum, Rahmad
Faisal sebagai Pj. Kasubag. Perundang-Undangan dan Siti Rodhiyah selaku
Kasubbag. Dokumentasi Hukum.
Dalam
Rapat tersebut, Komisi I menyampaikan apresiasi kepada IPPAT telah menyurati
DPRD terkait timbulnya persoalan pasca terbitnya kebijakan Peta Indikatif
Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB) beserta aturan kebijakan turunannya
bagi daerah Kepulauan Meranti. mengingat ini merupakan persoalan bersama dan
berimbas pada kepentingan masyarakat Kabupaten Kepulauan Meranti pada umumnya.
Untuk itu, sebelum DPRD memberi dukungan terhadap permohonan IPPAT tersebut,
Komisi I mempertanyakan kronologis persoalan dan meminta IPPAT menjelaskan
permasalahan tersebut. Adelina Hernawaty Gultom selaku Ketua IPPAT Kab.
Kepulauan Meranti menegaskan bahwa “Sebagai pejabat pembuat akta tanah merasa
dirugikan, dan secara otomatis PPAT tidak memiliki pekerjaan di Kabupaten
Kepulauan Meranti” sebagai imbas dari kebijakan Surat Edaran Kanwil. BPN
Provinsi Riau.
Selanjutnya
Husnalita menjelaskan titik persoalan sehingga IPPAT menyurati DPRD Kabupaten
Kepulauan Meranti untuk melakukan permohonan dukungan tersebut secara
kronologis bahwa persoalan timbul sejak tahun 2019, ketika terbitnya Inpres
Nomor 5 tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan
Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Sebenarnya didalam Inpres itu
sendiri, terkait tanah rakyat/masyarakat tidak terkena dampak dari Inpres itu
sendiri, mengingat Inpres Nomor 5 tahun 2019, Instruksi Ketiga, Angka 3, Huruf
a Berbunyi “Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional: a.
Menghentikan penerbitan hak-hak atas tanah antara lain hak guna usaha dan hak
pakai pada areal penggunaan lain berdasarkan Peta Indikatif Penghentian
Pemberian Izin Baru (PIPPIB)”. Jadi hanya Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Pakai
yang dihentikan. Pada Inpres tersebut tidak ada sama sekali menyebutkan hak
milik. Kemudian, diakhir tahun 2019 BPN berkoordinasi dan antisipasi terhadap
lahan-lahan yang ada di Kabupaten Kepulauan Meranti, karna pada bulan Agustus
2019, diwilayah Kabupaten Kepulauan Meranti yang masuk PIPPIB ialah 95 % dari
keseluruhan luas wilayah. Dan dilakukan revisi setiap 6 bulan sekali, sehingga
di bulan Februari 2020, hasil revisi bukan dikurangi, malah bertambah 1%,
sehingga 96 % Kabupaten Kepulauan Meranti yang masuk kedalam PIPPIB.
Kemudian,
keluar Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor : SK.
851/MENLHK-PKTL/IPSDH/PLA.1/2/2020, amar Kesebelas Pada huruf d bahwa tanah
milik masyarakat perseorangan diareal penggunaan lain (APL) sepanjang disertai
bukti hak atas tanah/tanda bukti kepemilikan lainnya hasilnya tersebut
dilaporkan kepada Menteri LHK melalui Dirjen Planologi, ini dilakukan jika kita
minta pengecualian PIPPIB. Dan prosesnya tidak gampang, mesti didaftarkan dulu
ke BPN, cek kawasan, buat surat permohonan ke BPN, dan sekelumit proses
pemetaan dan lain sebagainya yang hasil dari BPN tersebut baru dilaporkan ke
Dirjen Planologi, itupun jika diberikan atau tidak izin untuk dikeluarkan dari
PIPPIB oleh Dirjen Planologi yang memutuskan melalui surat, dan proses ini
tidak bisa dilalui dalam waktu yang singkat. Untuk yang sudah ada hak milik,
hak guna bangunan, dan tanah-tanah SKGR yang belum menjadi sertifikat yang
Masyarakat ajukan untuk jual beli dan anggunan. Sehingga menurut Inpres
tersebut tidak ada larangan, Kepmen LHK juga memberikan kesempatan kepada kita,
akan tetapi mesti berkoordinasi terlebih dahulu melalui Dirjen Planologi.
Setelah ditetapkan PIPPIB, kita tidak mengetahui entah dicek atau tidak oleh
pihak terkait sebelum menetapkan PIPPIB mengingat untuk wilayah tebing tinggi,
saja merata masuk dalam PIPPIB. Yang bebas dari PIPPIB itu hanya Kel.
Selatpanjang Barat, Kel. Selatpanjang Selatan sedikit, Kel. Selatpanjang Kota
dan Kel. Selatpanjang Timur Sebagian, selebihnya seperti Desa Banglas, Banglas
Barat, Alah Air, Alah Air Timur masuk kedalam PIPPIB dan ini tidak pro rakyat.
Pada
bulan maret 2020, Kakanwil. BPN Provinsi Riau mengeluarkan Surat Edaran untuk
kegiatan derivative pemecahan, pemisahan, peralihan, perubahan hak atas tanah
dan pemasangan hak tanggungan pada sertifikat yang telah terbit untuk
dihentikan sementara dalam waktu yang tidak ditentukan. Disinilah mulainya
persoalan, hak tanggungan, pemecahan, jual beli lahan betul-betul dihentikan.
Surat edaran ini benar-benar tidak mencerminkan Inpres Nomor 5 tahun 2019 yang
hanya menyinggung Penghentian Penerbitan Hak Guna Usaha dan Hak Pakai saja,
Surat Edaran Kakanwil. BPN tersebut, menghentikan semua hak-hak atas tanah,
baik itu hak milik, hak guna bangunan dan hak-hak masyarakat atas tanah
lainnya. Oleh karena itu, inilah kenapa IPPAT menyurati DPRD untuk mohon
dukungan klarifikasi kawasan gambut di Kepulauan Meranti supaya Inpres ini
dilaksanakan sebagaimana amanat Inpres yang sesungguhnya. Sehingga masyarakat
yang memiliki hak milik atas tanah mereka baik Prona maupun tidak Prona tidak
terganggu. Terlebih lagi saat ini dalam kondisi Covid 19, banyak masyarakat
yang menjual tanah untuk memenuhi kebutuhan hidup, modal usaha, dan lain
sebagainya. “Selaku PPAT tidak bisa berbuat apa-apa karena imbas dari surat
edaran tersebut, sehingga tidak bisa melakukan proses balik nama dalam jual
beli tanah oleh masyarakat” kata Husnalita.
Bagian
Hukum dan HAM Sekretariat Daerah Kab. Kepulauan Meranti melalui Rahmawati
selaku Kasubag. Bantuan Hukum menanggapi bahwa barangkali terjadi penafsiran
yang berbeda oleh pihak BPN terhadap Inpres Nomor 5 tahun 2019 tersebut, untuk
mengklarifikasi hal tersebut, maka BPN seharusnya hadir menjelaskan pada rapat
hari ini. Selanjutnya, disampaikan bahwa Perda tentang RTRW Kabupaten Kepulauan
Meranti sudah di sahkan, namun masih dalam tahap evaluasi oleh Pemerintah Pusat
mengingat adanya hal-hal yang perlu direvisi dan disesuaikan dengan
aturan-aturan yang terbaru dan kondisi rill di lapangan. Dalam Surat
Keputusan Menteri LHK tersebut, bahwa bisa dilakukan revisi PIPPIB tersebut
sehingga bisa menjadi solusi. Pemda bisa mengajukan surat permohonan untuk
dilakukannya Revisi terhadap PIPPIB tersebut kepada Kementerian LHK.
Jhon
Hendri selaku Kabag Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah menyampaikan bahwa
dengan keluarnya Inpres Nomor 5 tahun 2019 ini mengundang banyak permasalahan
bahkan dialami sendiri bagian tata pemerintahan dan otonomi daerah seperti
ketika melaksanakan pembebasan lahan Kantor Bupati, maka Bupati menyurati untuk
meminta BPN memberikan kejelasan terhadap tanah-tanah yang akan diganti rugi
oleh Pemerintah Daerah sehingga berkoordinasi dengan BPN Pusat terkait boleh
atau tidak, walaupun dalam aturan Inpres itu ada pengecualian. Persoalan ketika
Pemda akan mensertifikatkan tanah-tanah yang akan dihibahkan kepada
lembaga-lembaga instansi vertikal seperti tanah Polsek Pulau Merbau dan Polsek
Rangsang Barat, walaupun dapat pengecualian bahwa itu untuk kepentingan pembangunan
daerah, sampai saat ini belum bisa untuk mensertifikatkan tanah-tanah yang
sudah SKGR dan SKT untuk diterbitkan sertifikatnya, padahal terhadap
pengecualian-pengecualian Inpres Nomor 5 tahun 2019. Jadi agak sedikit bias
terhadap penjabaran yang dibuat oleh BPN, padahal menurut Inpres Nomor 5 tahun
2019, terhadap pengecualian tersebut diperbolehkan untuk diterbitkan
sertifikatnya, walaupun itu wilayah gambut.
Ketua
Komisi I menyampaikan bahwa dengan kondisi hanya 4% lahan dari keseluruhan luas
wilayah kabupaten kepulauan meranti yang bebas dari PIPPIB, tentu saja ini
sangat miris. Sebagai kabupaten yang masih berusia sebelas tahun, masih banyak
yang perlu dibangun. Seperti halnya masyarakat yang sedang membangun
perekonomiannya tentu saja mesti memenuhi syarat dan melalui proses-proses
tertentu seperti jual beli lahan, melakukan pinjaman dengan anggunan
kepemilikan lahan sebagai modal membuka usaha, tentu saja harus ada sertifikat
tanah sebagai bukti kepemilikan. Sehingga persoalan ini harus segera menemui
titik temu penyeselesaiannya. Kedepan akan diagendakan kembali rapat dengar
pendapat lanjutan untuk membahas dan menyelesaikan persoalan ini dengan
menghadirkan berbagai pihak-pihak terkait.(ADV/ RAMLI ISHAK)****
0 Comments